Empat Sekawan Asrama Timur
![]() |
| Ilustrasi empat sekawan di asrama timur yang ketahuan boros sekolah oleh pak guru. dok. Chat GPT AI |
Empat sekawan di asrama SMA berbagi kenakalan, persahabatan, dan pengalaman bersama Pak Iwan hingga lulus penuh cerita.
KLIK CHANNELKU - Suara bel masuk sore itu menggema di seluruh area sekolah asrama. Sinar matahari sudah mulai condong ke barat, tapi halaman sekolah masih ramai. Di antara puluhan siswa yang lalu-lalang, empat remaja tampak berjalan beriringan sambil tertawa.
Mereka adalah Andi, Budi, Fajar, dan Surya — empat sekawan yang sejak awal
masuk sekolah asrama sudah tak terpisahkan.
“Eh, malam ini kita belajar bareng
di aula, kan?” tanya Fajar sambil menepuk bahu Surya.
“Belajar? Lo yakin, Jar?” sahut Andi
sambil terkekeh. “Yang gue tahu, belajar lo itu cuma lima menit, sisanya main
gitar.”
Budi langsung tertawa keras. “Bener
tuh! Gitaran terus, lagunya juga itu-itu aja. ‘Kangen’ lagi, ‘Kangen’ lagi!”
Surya hanya nyengir, lalu menatap
mereka satu per satu. “Kalau nggak karena gue, kalian pasti pada stres belajar
terus. Harus ada hiburan dikit, Bro!”
Mereka tertawa bersamaan, sampai
akhirnya bel tanda masuk asrama berbunyi keras. Mereka pun berlari menuju
barak.
Asrama Timur — tempat mereka tinggal
— terkenal dengan aturan keras dari Pak
Iwan, pembina asrama yang wajahnya selalu serius. Bagi para siswa, nama
Pak Iwan identik dengan dua hal: disiplin dan hukuman.
Suatu malam, ketika jam belajar
wajib dimulai, empat sekawan itu bukannya di ruang belajar, tapi malah
nongkrong di belakang dapur asrama.
“Tenang aja, Pak Iwan lagi patroli
di sisi barat,” kata Budi sambil menyalakan senter kecil.
“Kalau ketahuan, tamat hidup kita,”
timpal Fajar.
Surya menepuk pundak Fajar. “Santai,
hidup cuma sekali. Nikmatin!”
Andi mengeluarkan bungkus mi instan
dari saku jaketnya. “Nih, gue bawa alat tempur.”
“Mi rebus tengah malam, gila sih!”
seru Budi tertawa pelan.
Mereka memasak mi dengan peralatan
seadanya, memakai kaleng bekas dan air panas curian dari dispenser guru. Bau
harum mi pun menyebar ke udara malam.
“Kayak gini baru namanya hidup di
asrama,” ujar Surya sambil mengaduk mi.
Namun, baru dua suap mereka nikmati,
suara langkah kaki berat terdengar dari kejauhan.
Tok… tok… tok…
“Eh, itu bukan suara Pak Iwan, kan?”
bisik Fajar panik.
Budi langsung mematikan senter.
Mereka semua menahan napas. Tapi langkah kaki itu makin mendekat.
“Siapa di sana!” terdengar suara
berat khas Pak Iwan.
Empat sekawan saling pandang, wajah
pucat seketika. Surya berbisik cepat, “Lari atau ngaku?”
Andi menjawab lirih, “Kalau lari,
ketahuan. Kalau ngaku… tamat.”
Langkah kaki berhenti tepat di depan
dapur. Sinar senter menyorot wajah mereka.
“HAH! Kalian lagi ngapain di sini?”
bentak Pak Iwan dengan nada menggelegar.
“M-masak mi, Pak…” jawab Fajar
dengan suara kecil.
“Jam segini? Bukannya jam belajar?!”
Tak ada yang berani menjawab. Pak
Iwan menatap mereka satu per satu, lalu menarik napas panjang.
“Besok pagi kalian empat orang
datang ke lapangan jam lima. Bawa ember, sapu, dan pel!” katanya tegas sebelum
pergi.
Begitu sosok Pak Iwan menghilang di
kegelapan, mereka semua terdiam.
“Gue bilang juga apa, hidup kita
tamat,” gumam Andi pelan.
Surya masih mencoba tertawa.
“Setidaknya mi-nya enak sebelum ditangkap.”
Keesokan paginya, empat sekawan
sudah berdiri di lapangan dengan mata sayu dan wajah kusut. Embun pagi masih
menempel di rumput, sementara Pak Iwan datang membawa clipboard.
“Kalian pikir saya nggak tahu apa
yang kalian lakukan setiap malam?” katanya datar. “Saya tahu kalian sering
bolos belajar, keluar asrama, bahkan ke warung depan!”
“Maaf, Pak,” jawab Andi mewakili
teman-temannya.
Pak Iwan menatap mereka lama, lalu
tersenyum tipis. “Kalian ini sebenarnya anak-anak pintar, tapi terlalu banyak
gaya. Mulai hari ini, kalian jadi tim kebersihan asrama selama seminggu.
Setuju?”
“Setuju, Pak,” jawab mereka
serempak.
Sejak hari itu, pagi-pagi mereka
sudah terlihat menyapu halaman, mengepel lantai aula, dan mencuci kamar mandi.
Awalnya mereka mengeluh, tapi lama-lama semua jadi bahan tawa baru.
“Eh, Budi, pel-nya jangan ke arah
gue!” teriak Surya sambil menghindar.
“Kalau lo nggak ngelawak terus,
kerjaan kita udah selesai dari tadi,” balas Budi.
Pak Iwan yang melihat dari jauh
hanya menggeleng, tapi diam-diam tersenyum kecil.
Waktu berjalan cepat. Tahun-tahun di
asrama berlalu penuh kenangan — dari belajar hingga dihukum bersama. Mereka
sering bilang, “Asrama itu bukan penjara, tapi tempat kita belajar hidup.”
Hingga akhirnya hari kelulusan tiba.
Aula besar sekolah penuh siswa memakai seragam rapi. Empat sekawan berdiri di
barisan paling belakang, menatap panggung dengan mata berkaca-kaca.
“Gila, kita lulus juga,” ujar Fajar
pelan.
“Dan nggak dikeluarkan,” timpal Andi
sambil tertawa.
Pak Iwan yang sedang membagikan
ijazah sempat menatap mereka. Setelah acara selesai, ia mendekati mereka dan
berkata, “Kalian berempat bikin saya pusing selama tiga tahun, tapi juga bikin
saya bangga.”
Budi menunduk. “Maaf, Pak, kalau
kami sering bikin masalah.”
Pak Iwan menepuk bahu mereka satu
per satu. “Masalah bukan selalu hal buruk. Dari masalah, kalian belajar
tanggung jawab.”
Surya menatap guru itu dengan senyum
lebar. “Jadi, kalau suatu saat kami ke sini lagi, jangan lupa siapkan mi instan
ya, Pak.”
Pak Iwan tertawa keras, mungkin untuk pertama kalinya mereka mendengarnya begitu lepas. “Kalian ini… tetap saja bikin ribut!”
Beberapa tahun kemudian, mereka
berempat masih sering berkabar lewat grup WhatsApp bernama Asrama Timur
Never Dies. Setiap kali mereka bertemu, cerita lama tentang hukuman Pak
Iwan selalu jadi bahan tawa.
Budi yang sekarang kerja di bank
sering berkata, “Gue bisa disiplin karena dulu disuruh bersihin asrama tiap
pagi.”
Andi yang jadi guru malah meniru
gaya bicara Pak Iwan di kelas. “Saya tahu kalian sering bolos belajar!” katanya
menirukan dengan nada berat.
Fajar jadi musisi, dan Surya membuka
kedai kopi kecil yang dinamai “Mi
Rebuan”, terinspirasi dari malam ketika mereka ketahuan.
Suatu sore, empat sekawan itu
kembali ke sekolah lama mereka. Pak Iwan sudah pensiun, tapi tetap tinggal di rumah
dinas dekat asrama. Saat mereka mengetuk pintu, wajah tua itu muncul dengan
senyum hangat.
“Lho, empat biang kerok datang
juga,” katanya.
“Bukan biang kerok, Pak. Sekarang
kami orang sukses,” jawab Surya sambil tertawa.
Pak Iwan mempersilakan mereka masuk,
lalu menatap mereka dengan bangga. “Saya senang kalian nggak lupa asal-usul.
Kalian dulu bandel, tapi hati kalian baik.”
Fajar mengambil gitar dan mulai
memetik lagu lama mereka. Suaranya mengalun lembut di ruang tamu kecil itu.
Sore itu, mereka duduk bersama
sambil mengenang masa lalu — masa ketika empat remaja nakal belajar arti
persahabatan, tanggung jawab, dan kenangan yang tak lekang oleh waktu.
Dan di tengah tawa yang pecah, Pak
Iwan berkata pelan, “Kalau waktu bisa diulang, saya tetap mau punya murid
seperti kalian.”
Empat sekawan itu terdiam sejenak,
lalu tertawa bersama.
Malam yang dulu penuh kenakalan,
kini menjadi cerita indah yang akan mereka bawa seumur hidup.
— Tamat —
.png)
No comments